Jaminan Sosial Sektor Informal


Jaminan Sosial Harapan Baru bagi Sektor Informal
Pekerja sector informal tak perlu berkecil hati apalagi kecewa dengan perlakukan Negara terhadap hal pelayanan jaminan social terhadap warga negara, meski tidak sebagaimana layaknya perlakuan terhadap sector formal. Sector informal tidak pernah dilarang sakit, kecelakaan, tua ataupun meninggal. Hanya saja pengaturan Negara mengenai system jaminan sosialnya tidak diatur secara khusus mengenai sector informal ini, tetapi peluang untuk mendapatkan jaminan social dalam rangka mejamin kebutuhan hidupnya yang layak sebagai manusia yang bertabat dapat terpenuhi melalui permenakertrans nomor 24 tahun 2006, yaitu tentang Pedoman Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga kerja bagi yang melakukan pekerjaan di Luar Hubungan Kerja atau pekerja sector informal.
Penerapan program jaminan social bagi sector informal ini belum begitu banyak dilaksanakan dibeberapa daerah di Indonesia sebagaimana kita ketahui dari beberapa informasi baik media elektonik, cetak serta literature yang ada, hal ini mungkin disebabkan karena belum ada pengaturan secara spesifik mengenai hal tersebut dalam bentuk Undang-undang ataupun peraturan pemerintah, atau mungkin karena factor kesulitan mengorganisir mereka yang sangat variasi baik sisi penghasilan maupun jenis kegitan/pekerjaannya dan lain-lain. Jika demikian alasannya itu tetap sebuah alas an klasik. Sebenarnya para penentu kebijakan atau pemangku kepentingan belum punya kemauan (political will) yang sungguh sungguh akan hal tersebut. Memang harus kita akui selama ini Negara dalam hal ini pemerintah telah melaksanakan program perlindungan social berupa bantuan social kepada masyarakat miskin melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan sejenisnya dengan segala keterbatasannya. Tapi ini sejujurnya ingin kami katakan dengan tanpa mengurangi rasa terima kasih kepada Negara atau pemerintah adalah bentuk program yang kurang tepat dan harus disempurnakan terutama seperti program BLT.
Selain itu program bantuan social tersebut diatas belum dapat menyentuh seluruh pekerja sector informal karena masih terbatas pada masyarakat sector informal yang miskin saja yang mengacu pada data BPS dengan salah sato indicator penghasilan dibawah Rp 300.000 /orang perbulan. Sementara pekerja sector informal ada yang berpenghasilan Rp 300.000 keatas, hal ini tidak mempunyai kejelasan program jaminan atau bantuan sosial apa yang diperolehnya.
Sebagai gambaran tentang perolehan jaminan social bagi masyarakat di kabupaten Sumbawa propinsi Nusa Tenggara Barat, dari 197.183 penduduk yang benar-benar bekerja tercatat 13.489 mendapat jaminan social yang pasti dan menyeluruh karena mereka bekerja pada sector formal seperti PNS, TNI/Polri dan Karyawan perusahaan, tetapi ada 183 694 orang bekerja pada sector informal belum mendapat jaminan social yang komprehensif. Memang diantaranya ada 171.244 mendapat program bantuan social, ini belum bisa kita katakan sebagai jaminan social mekipun dari namanya disebutkan sebagai “jaminan” masyarakat pada program Jamkesmas, karena iuran/premi dari program ini seluruhnya (100%) ditanggung pemerintah
Dari angka tersebut diatas dijumpai sebanyak 12.450 pekerja informal yang belum mendapat kejelasan jaminan sosialnya. Mereka ini memiliki pekerjaan utama tersebar diberbagai sector ekonomi, mulai dari sector pertanian/perkebunan/kehutan/peternakan/perikanan, Perdagangan, Industri, Jasa dan lainnya.
Sector informal dalam fenomenanya adalah sebuah relitas yang akan tumbuh dan berkembang dengan sendiri, gampang dimasuki oleh stiap orang meski dengan latar belakang pendidikan rendah bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan formal sekalipun, serta ketrampilan yang tradisinal, dan permodalan yang kecil dapat mapu bertahan hidup sekalipun hanya untuk kebutahna hidup yang pas-pasan. Tetapi mereka dapat mampu bertahan hidup sekalipun goncangan dan krisis melanda secara nasional, bahkan kadang mampu memberikan kontribusi kepada sector formal, sehingga mereka disebut sebagai katup pengaman perekonomian dan ketenaga kerjaan nasional. Jika begitu maka sector informal adalah kelompok yang berjasa, menjadi pahlawan. Lalu bagaimana imbal balik Negara atau pemerintah dalam hal ini atas jaminan sosialnya ? ini perlu dengan segera sector ini mendapat perhatian untuk merumuskan kebijakan terutama dalam hal pemberian jaminan sosialnya.
Harapan Baru
Sebagaimana kami sebutkan diatas bahwa sector informal tak perlu berkecil hati apalagi kecewa dengan perlakukan Negara terhadap hal pelayanan jaminan social terhadap warga negara, meski tidak sebagaimana layaknya perlakuan terhadap sector formal. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI nomor 24 tahun 2006, telah memberi harapan baru bagi tenaga kerja sektor informal untuk mendapatkan jaminan social yang menyeluruh, perlakuannya pada prinsip tidak ubahnya seperti penerapan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) pada sector formal, terutama manfaaat program. Seperti Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK).
Upaya pemerintah dalam penerapan program pelayanan jaminan social tenaga kerja, dirasa semakin membaik hal ini dibuktikan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 84 tahun 2010 tentang Perubahan ketujuh atas Peraturan Pemerintah nomor 13 tahun 1993 tentang Penyelenggaan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Sebagai contoh dalam PP No. 13 tahun 1993 manfaat JKK yang besarannya maximum  untuk biaya pengobatan/perawatan dari Rp 8.000.000 meningkat menjadi Rp 20.000.000 begitu juga terhadap program Jaminan Kematian (JKM) dari biaya santunan kematian Rp 6.000.000 meningkat menjadi Rp 10.000.000, biaya pemakaman dari Rp. 1.500.000,- meningkat menjadi 2.000.000,- dan seterusnya. Sementara besaran iuran keempat program tersebut tidak berupa persentase (%) rate nya yang dihitung sesuai dengan Standar Upah Minimum Propinsi/Kabupaten/kota.
Semangat masyarakat terutama pekerja sector informal menyambut Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (Jamsostek LHK) di Sumbawa NTB cukup baik, hal ini dapat dilihak ketika Yayasan BOAN menyelenggarakan Acara Sosialisasi Program tersebut bekerjasama dengan PT. Jamsostek NTB, Pemda Sumbawa yang juga atas dukungan Yayasan Tifa Jakarta, pada tanggal 29 Maret 2011 bertempat di Ruang Rapat lantai III gedung Bupati Sumbawa. tidak kurang dari 200 orang perwakilan pekerja sector informal yang menjadi peserta dan dihadiri pula oleh SPD Kabupaten Sumbawa terutama dinas instansi terkait serta perwakilan beberapa perusahaan formal peserta jamsostek member apresiasi. Meskipun program ini baru didenagar oleh masyarakat, karena selama ini Jamsostek hanya dikenal oleh dan pada perusahaan untuk melindungi atau member jaminan social kepada karyawannya, ternyata untuk tenaga kerja sector informal atau masyarakat yang bekerja sendiri, berusaha sendiri serta menanggung resiko sndiri juga bisa mengikuti program jamsostek melalui Program Jamsostek LHK. Beberapa peserta semangat menanyakan prosedur, manfaat serta mekanisme program, lalu melahirkan rekomendasi antara lain; disegerakan terbitnya Ikatan Kerjasama (IKS) antara PT. Jamsostek NTB dengan lembaga yang akan menjadi penanggungjawab Wadah/kelompok dalam hal ini Yayasan BOAN karena dianggap oleh peserta sebagai sebuah lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang inten mensuarakan Jaminan Sosial bagi tenaga Kerja Sektor informal, baik melalui program Askesos yang merupakan Produk Depsos RI sejak tahun 2009 maupun Jamsostek melalui gerakan sosialisasinya yang mendapat dukungan dari yayasan TIFA Jakarta, di beberpa Desa/kelurahan di Kabupaten Sumbawa. kemudian diminta kepada Pemerintah Daerah dalam hal ini leading sektornya Dinas Tenaga kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sumbawa pada Bidang Hubungan Industri (HI) untuk secara intens dan pro aktif melakukan pembinaan dan pengawasan, karena bagaimanapun Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten/kota mempunyai kewajiban atau tanggungjawab terhadap keberlangsungan program ini sebagaimana diamanatkan dalam Permennakertrans no 24 tahun 2006 tersebut. pada Bab II Pengorganisasian huruf A.3 “Instansi  yang  bertanggung  jawab  di  bidang  ketenagakerjaan  Kabupaten/Kota bertanggung jawab atas dilaksanakannya program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi  tenaga kerja  di  luar  hubungan kerja  dengan melakukan pembinaan dalam rangka perluasan kepesertaan program Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Bupati/Walikota   menyampaikan  laporan  pelaksanaan  program  Jaminan  Sosial Tenaga Kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja setiap 3 (tiga) bulan sekali  kepada  Gubernur  dengan  tembusan  kepada  Menteri  Tenaga  Kerja  dan Transmigrasi R.I.”
Dasar Hukum Penyelenggaraan Jamsotek LHK
Dasar hukum penyelenggaraan Jamsostek LHK oleh Yayasan BOAN selain peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan dalam permen 24 tahun 2006 seperti UU no.3 tahun 1992 tentang jamsostek, UU No.13 tentang Ketenaga Kerjaan, PP No. 14 tahun 1993 tentang penyelenggaraan Jamsostek, PP No. 36 tahun 1995 tentang Penetapan Badan penyelenggara program Jamsostek, PP No. 64 tahun 2005 tentang Perubahan keempat PP no.14 tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jamsostek dan seterusnya PP No.84 tahun 2010, Permenakertrans PER-12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis, Pendaftaran Kepesertaan, pembayaran iuran, pembayaran santunan dan pelayanan Jamsostek dan Permenakertrans No.24 tahun 2006 tentang Jamsostek LHK. Juga hal yang tidak kala pentingnya adalah Ikatan Kerjasama (IKS) antara Badan Penyelenggara Jamsostek dalam hal ini PT. Jamsostek (Persero) cabang NTB dengan Yayasan BOAN selaku Penanggungjawab wadah/kelompok hal ini telah dibuat pada tanggal 29 maret 2011 dengan nomor : PER/26/042011
Prospek Jamsostek LHK di kabupaten Sumbawa
Sasaran potensial kepesertaan Program Jamsostek LHK di Kabupaten Sumbawa berdasarkan hasil penelitian Yayasan BOAN yang didukung oleh Yayasan TIFA Jakarta mencapai 12.450 orang . sasaran potensial ini adalah pekerja sector informal yang mempunyai penghasilan Rp 300.000 keatas. Dari jumlah 12.450 diduga 50% berpenghasilan diatas Upah Minimum Propinsi NTB yaitu Rp 950.000 atau Upah Dasar untuk pembayaran iuran Jaminan Sosial sebesar Rp 1.050.000. artinya mereka layak dan mampu untuk dapat mengikuti program jamsostek secara keseluruhan atau keempat program yang ditawarkan seperti JKK, JKK, JHT dan JPK. Sementara 50% dari 12.450 anggap saja mereka mempunyai penghasilan dibawah UMP, maka mereka bisa memilih salah satu program tersebut berdasarkan kemampuan ekonominya, atau bisa saja mereka mendapatkan keempat program tersebut tentu saja dengan harapan ada sebuah skema program dimana Pemerintah ikut terlibat melakukan intervensi dalam bentuk pemberian subsidi sehingga mereka yang berpenghasilan di bawah UMP dapat mengikuti seluruh program dan mereka menanggung sebagian iuran selama beberapa waktu sampai mereka dapat membayar iuran secara mandiri. Sebetulnya skema ini sudah mulai diterap di Indonesia sejak bulan Januari 2011 yang didasari oleh Keputusan Dirjen Pembinaan Hubungan Kerja Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Nomor : KEP.56/PHIJSK/I/2011 tentang Pedoman tata cara dan mekanisme Pemberian Subsidi Program di Bidang Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja yang ditetapkan 27 Januari 2011, hanya saja NTB termasuk tentunya Sumbawa yang merupakan salah satu kabupatennya belum mendapatkan subsidi iuran Jamsostek LHK tersebut. Daerah yang mendapatkan subsidi iuran tersebut baru 11 propinsi. Kesebelas daerah yang mendapatkan bantuan subsidi iuran itu adalah Kepulauan Riau, Riau, Sumatera Selatan, Lampung,Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan D.I. Yogyakarta. kata Direktur Operasional dan Pelayanan PT Jamsostek (Persero), Ahmad Ansyori di Jakarta, Senin (28/3/2011). Atau Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa cukup mengeluarkan biaya Rp56,7 juta perbulan atau Rp687,4 jt pertahun untuk perlindungan kecelakaan kerja dan kematian atau pemda mensubsidi Rp3.150 perorang perbulan sedangkan pekerja menyisihkan Rp10.000 untuk jangka waktu yang sama. Dengan skema itu, pekerja informal berhak atas klaim santunan Rp16,8 juta untuk Jaminan Kematian dan Rp20 juta persatu kasus pada Jaminan Kecelakaan Kerja